Jumat, 28 Maret 2014
On 01.10 by Iyan Sofi Ansori in Tugas Soft Skill Mata Kuliah Hukum Perburuhan No comments
Masalah ketenagakerjaan
anak dibawah umur telah menjadi perhatian dunia yang merupakan dampak dari
permasalahan ekonomi, sosial dan kebudayaan dalam masyarakat. Menurut Suyanto
(2003), pekerja atau buruh anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan
secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain atau untuk dirinya sendiri
yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak. (Darwin. 2006). Menurut Undang-Undang No.13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan yang di maksud pekerja anak adalah anak-anak yang
berusia di bawah 18 tahun. Anak-anak dapat dipekerjakan dengan syarat mendapat
izin orang tua dan bekerja maksimal 3 jam sehari. Dalam Keputusan Menteri Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah No.5 Tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak
Pasal 1, menyatakan bahwa pekerja anak adalah anak yang melakukan semua jenis
pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan menghambat proses belajar serta
tumbuh kembang, ayat berikutnya menyatakan bahwa Penanggulangan Pekerja Anak atau
sering disebut dengan PPA adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk
menghapus, mengurangi dan melindungi pekerja anak berusia 15 tahun ke bawah
agar terhindar dari pengaruh buruk pekerjaan berat dan berbahaya.
Pekerja anak merupakan
salah satu fenomena yang meluas di Indonesia. Anak-anak yang berusia kurang
dari 14 tahun harus terpaksa bekerja karena masalah ketidakmampuan ekonomi yang
dialami keluarga mereka, budaya dan faktor lainnya. Mereka melakukan pekerjaan
yang membahayakan dan mengancam kehidupan mereka. Menurut International Labor Organization (ILO) jumlah pekerja anak di dunia
mencapai 218 juta anak usia dibawah 18 tahun yang pergi bekerja setiap harinya,
tujuh persen berada di Amerika Latin, 18 persen berada di Asia dan 75 persen
berada di Afrika. Khusus di Indonesia sendiri jumlah pekerja anak di Indonesia
mencapai 1,5 juta orang.
Tingginya jumlah pekerja anak ini tidak lepas dari adanya masyarakat miskin di Indonesia. Masyarakat miskin baik yang tinggal di desa maupun di kota harus bekerja keras untuk meningkatkan kehidupan atau memperbaiki nasibnya. Dalam banyak kasus, walaupun telah bekerja dengan jam kerja yang relatif panjang, pendapatan atau penghasilan yang diperoleh kelompok miskin masih tetap relatif rendah. Agar tetap bisa bertahan hidup, keluarga miskin berusaha mengerahkan seluruh tenaga yang ada untuk mencari nafkah walaupun tenaga tambahan tersebut adalah anak mereka sendiri yang belum dewasa dan siap untuk bekerja.
Fenomena pekerja anak
yang telah ikut serta dalam kegiatan ekonomi baik yang memperoleh upah maupun
tidak, sebenarnya bukanlah suatu hal baru di Indonesia, bahkan pekerja anak ini sebenarnya
merupakan persoalan klasik. SSemakin lama semakin banyak pekerja
anak atau anak-anak yang terpaksa bekerja baik yang terlibat langsung secara
ekonomi di pasar kerja maupun yang membantu orang tua untuk menambah pendapatan
dan yang bekerja di rumah. Berbagai jenis pekerjaan digeluti oleh anak yang bersekolah,
putus sekolah, bahkan ada yang tidak sempat bersekolah. Padahal di usia anak kebutuhan
yang seharusnya dipenuhi oleh mereka adalah mendapatkan pendidikan dan juga
mempunyai waktu yang cukup untuk bermain dalam masa perkembangan fisik dan
mentalnya mendapatkan kasih sayang dari orangtua. Pada usia ini kemampuan fisik
anak masih terbatas sesuai dengan pertumbuhannya. Sayangnya, lagi-lagi faktor
kemiskinan membuat mereka terpaksa bekerja. Meskipun ada beberapa anak yang
mengatakan dia ingin bekerja karena bayarannya yang menarik atau karena anak
tersebut tidak suka sekolah, hal tersebut tetap merupakan hal yang tidak
diinginkan karena tidak menjamin masa depan anak tersebut. Disini Pemerintah harus
membuat kebijakan yang tepat untuk menanggulangi pekerja anak, hal ini tertuang
pada Undang – Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 1 yang menyatakan bahwa fakir
miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Walaupun pemerintah telah
membuat kebijakan Wajib Belajar 12 Tahun, hal ini dirasa belum cukup.
Pemerintah perlu melakukan upaya terpadu antara pemerintah pusat dan daerah.
Pekerja anak sebagian
besar bekerja di sektor pertanian atau berada di daerah pedesaan, bagi anak
laki-laki mereka merupakan tambahan tenaga untuk menggarap lahan keluarga,
sedangkan anak perempuan sebagai pembantu dalam Rumah Tangga. Selain itu anak
bekerja juga didorong oleh diri sendiri yakni pola pikir praktis mereka yang
lebih memilih bekerja dan migrasi ke kota (Suhaimi: 2009). Dengan alasan umur
dan keterbatasan kemampuan yang dimiliki, untuk daerah perkotaan kebanyakan
dari mereka bekerja di sektor-sektor informal seperti pedagang asongan, tukang
parkir, penjual koran, dan lain sebagainya. Di kota-kota besar, pekerja anak baik yang bekerja di sektor
formal maupun informal biasanya dipicu oleh gejala urbanisasi. Penelitian
Irwanto (1994) menemukan bahwa pekerja anak di kota-kota besar merupakan akibat
dari urbanisasi orang tua. Karena tidak mempunyai ketrampilan (43 persen tidak
lulus SD), para orang tua bekerja sebagai buruh kasar dengan pendapatan
rata-rata hanya Rp 4.000/hari (tahun 1995). Pendapatan sebesar itu tentu tidak
mencukupi untuk bisa bertahan di kota besar, sehingga anak dituntut untuk
bekerja menambah pendapatan keluarga.
Demi mengatasi
;permasalahan sosial ekonomi ini pemerintah telah mengeluarkan banyak peraturan
perundang-undanganan yang melarang mempekerjakan anak yang belum tergolong
dewasa. Kenyatanaan yang terjadi dilapangan, semua undang-undang tidak ditaati
oleh banyak pengusaha dan anak-anak itu sendiri. Masih banyak terlihat
diberbagai tempat anak-anak yang berada diusia wajib sekolah melakukan
pekerjaan hampir setiap hari selama seminggu. selama masih ditemui keluarga
miskin maka pekerja anak akan selalu ada. Disamping itu biasanya sektor swasta
juga cenderung lebih tertarik menggunakan anak di bawah umur untuk bekerja di
tempatnya, hal ini dikarenakan kecekatan anak dan upah yang rendah. Sehingga
pekerja anak terkadang lebih efisien dan lebih menguntungkan bagi pihak swasta,
dalam asumsi pekerjaan yang ditawarkan pun merupakan pekerjaan yang tidak
membutuhkan skill yang tinggi.
Rendahnya kehidupan
ekonomi rumah tangga, menyebabkan banyak keluarga yang memerlukan bantuan
mereka untuk memenuhi kebutuhan marjinal. Kemudian, muncul beberapa pertanyaan
seperti siapa yang dimaksud dengan pekerja anak, dimana mereka dapat ditemui,
seberapa dalam mereka telah masuk dalam pasar tenaga kerja, apa yang mereka
butuhkan, dan mengapa pekerja anak bisa terjadi..
Terkait dengan isu
pekerja anak, jam kerja anak yang bekerja . Wirakartakusumah (1994) menyebutkan
bahwa bekerja dalam waktu yang panjang, selain tidak sesuai dengan kondisi
fisik anak-anak, juga mempunyai dampak social lainnya. Sementara itu Sirait
(1994) menyatakan bahwa panjangnya jam kerja mengakibatkan anak-anak kehilangan
hak dasar mereka, yaitu pendidikan, kreativitas, dan kasih sayang. (Sari, 2006)
Menurut Rusmil (1998), jumlah jam kerja dan jadwal kerja
yang panjang dan padat merupakan kenyataan yang harus dihadapi pekerja anak.
Menurut penelitian ILO di kotamadya Bandung, lebih dari setengah (60,2 %)
pekerja anak harus bekerja sekitar 40 jam per minggu atau sekitar 7 - 10 jam
per hari dengan waktu kerja antara jam 7-8 atau sampai jam 4-5 sore. Bahkan di
Bekasi dan Tangerang pekerja anak bisa bekerja sampai 14 jam per hari. Melihat
jadwal kerja yang begitu padat tentu saja tidak memungkingkan seorang
pekerja/buruh anak untuk mendapatkan pendidikan, kurangnya waktu istirahat akan
menambah gangguan dan perkembangannya. (Kordi. 2009).
Alokasi waktu untuk bekerja yang panjang akan
memberikan dampak negatif kepada pekerja anak baik secara fisik maupun psikis.
Hal ini dikarenakan kondisi fisik anak yang masih terlalu muda untuk bekerja
dalam jumlah waktu yang lama. Jam kerja yang panjang bagi anak akan memberi
dampak kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan, waktu belajar berkurang
bahkan tidak ada sama sekali. Waktu bermain menjadi sedikit sehingga
pengembangan kreativitas anak lambat. Dan terlebih lagi mereka tidak akan bisa
menikmati masa kecil mereka yang bahagia. Hal ini jelas akan berpengaruh pada
kondisi psikis anak.
Menurut (Affandi, 2007:17), upaya untuk penanggulangan
pekerja anak dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yakni penghapusan (abolition), perlindungan ( protection), penguatan atau pemberdayaan
(empowerment). Pendekatan yang pertama adalah pendekatan
penghapusan, maksud dari pendekatan ini adalah seorang anak tidak boleh bekerja
dengan alasan apapun dikarenakan dia harus sekolah dan tumbuh berkembang
sebagaimana mestinya. Pendekatan kedua adalah pendekatan perlindungan,
Pendekatan ini didasarkan pada anak sebagai individu mempunyai hak untuk
bekerja, maka dari itu hak-hak sebagai pekerja anak harus dijamin sesuai dengan
peraturan ketenagakerjaan sebagaimana yang berlaku dengan pekerja dewasa. Agar
terhindar dari tindakpenyalahgunaan dan eksploitasi anak. Sementara pendekatan
penguatan atau pemberdayaan dmerupakan upaya penguatan pekerja anak agar mereka
mengetahui, memahami dan mampu memperjuangkan hak-haknya.
Referensi :
http://emeidwinanarhati.blogspot.com/2012/08/jurnal-reformasi.html diakses pada tanggal 18 Maret 2014 Pukul 13.45 WIB.
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/197901012005011-NANDI/artikel%20jurnal/Artikel_di_Jurnal_GEA.pdf__Pekerja_Anak_dan_Permasalahannya.pdf diakses pada tanggal 28 Maret 2014 diakses pada tanggal 28 Maret 2014 pukul 13.00 WIB.
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/399/BAB%20I%20PENDAHULUAN.docx?sequence=2 diakses pada tanggal 28 Maret 2014 Pukul 11.00 WIB.
http://www.antaranews.com/berita/173487/ada-17-juta-pekerja-anak-di-indonesia diakses pada tanggal 28 Maret 2014 Pukul 12.00 WIB.
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/399/BAB%20I%20PENDAHULUAN.docx?sequence=2 diakses pada tanggal 28 Maret 2014 Pukul 11.00 WIB.
http://www.antaranews.com/berita/173487/ada-17-juta-pekerja-anak-di-indonesia diakses pada tanggal 28 Maret 2014 Pukul 12.00 WIB.
diakses pada tanggal 27 Maret 2014 Pukul 10.15WIB
http://www.suarapembaruan.com/home/ilo-15-juta-pekerja-anak-indonesia-di-2010/20452
diakses pada tanggal 28 Maret 2014. Pukul 10.00 WIB.
http://emeidwinanarhati.blogspot.com/2012/08/jurnal-reformasi.html
diakses pada tanggal
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Search
Berita UG SS
Popular Posts
-
Pengertian Embedded System Embedded System atau sistem tertanam merupakan sistem komputer khusus yang dirancang untuk menjalankan tugas...
-
PROPOSAL BISNIS CUPCAKE (Diajukan sebagai tugas mata kuliah manajemen proyek dan manajemen resiko ) ...
0 komentar:
Posting Komentar