Kamis, 29 Mei 2014
On 21.18 by Iyan Sofi Ansori in Tugas Soft Skill Mata Kuliah Hukum Perburuhan No comments
Kesempatan Dan
Perlakuan Yang Sama Dalam Pekerjaan di Indonesia
Pada Kesempatan ini saya akan
sedikit membahas mengenai salah satu BAB dalam Undang-Undang tentang
KetenagaKerjaan No.13 Tahun 2003. Yaitu mengenai BAB III tentang kesempatan dan
perlakuan yang sama yang tertuang pada pasal 5 dan 6. Kesempatan dan perlakuan
yang sama dalam pekerjaan atau dapa disebut pula dengan Equal Employment
Opportunity (EEO) yang mencakup segala kebijakan termasuk pelaksanaannya yang
bertujuan untuk penghapusan diskriminasi di dunia kerja baik iti secara langsung
maupun tidak langsung. Diskriminasi langsung terjadi ketika seseorang
diperlakukan tidak adil karena karakteristik gender atau karakteristik lain
yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi.
Contoh diskriminasi langsung
adalah :
a. Menolak
untuk mewawancarai seseorang untuk mengisi suatu lowongan karena dia seoarang
perempuan;
b. Memutuskan
seseorang bukan merupakan calon senior manager karena dia berasal dari suku
tertentu.
Diskriminasi dalam pekerjaan
meliputi sebuah rangkaian situasi, sebagai contoh ketika seseorang ditolaka
dari suatu pekerjaan, ditolak dari pekerjaan, ditolak kesempatan untuk
mengikuti pelatihan, ditolak dengan alasan kondidi pekerjaan kurang baik, dan
ditolak akses pada pekerjaan karena alasan tidak sesuai keanggotaan partai.
Sedangkan untuk diskriminasi
tidak langsung terjadi ketika ada sebuah lowongan yang diperuntungkan bagi
setiap orang tetapi mengandung ketidakadilan karena mendahulukan kelompok
laki-laki untuk menduduki lowongan tersebut.
Contoh diskriminasi tidak
langsung adalah :
a. Semua
pengusaha memberikan tunjangan hanya kepada kepala keluarga. Karena laki-laki
selalu dianggap sebagai kepala rumah tangga, dan bukan perempuan, maka tindakan
ini merupakan diskriminasi secara tisak langsung pada perempuan yang sering
kali bertindak sebagai pencari penghasilan utama (bread winner) dalam keluarga.
b. Terdapat
iklan tentang lowongan pekerjaan yang menyebutkan persyaratan tinggi badan
minimal 170 cm. Tinggi badan tidak mempengaruhi kemampuan pekerja untuk
melaksanakan pekerjaan, sementara sebagian besar perempuan Indonesia tidak
memenuhi batas minimal tinggi badan tersebut. Dalam situasi ini kesempatan untuk
mengisi lowongan pekerjaan tersebut sudah tentu lebih banyak pada laki-laki.
Dengan demikian EEO meliputi:
a. Perlakuan yang adil. EEO
merupakan instrumen bagi setiap pekerja/buruh dan para pencari kerja;
b. Berdasarkan prestasi. EEO
dilaksanakan dengan mengacu pada prestasi kerja seseorang, sehingga para
pemberi kerja memperoleh tenaga kerja sesuai dengan yang disyaratkan;
c. Instrumen untuk mencapai
efisiensi. Dengan pelaksanaan EEO, diharapkan akan tercapai efisiensi dan
efektivitas kerja sehingga meningkatkan produktivitas dan etos kerja untuk berkompetisi;
d. Mengikutsertakan pekerja/buruh
secara aktif dan potensial. Kondisi ini merupakan prasyarat keberhasilan
perencanaan pihak perusahaan untuk mencapai manajemen berkualitas;
e. Jalan terbaik untuk
merencanakan bisnis. Sesuai dengan tujuan EEO, dan akan menghilangkan hambatan
di tempat kerja untuk mencapai karier puncak;
f. Berkaitan dengan semua aspek
dalam dunia kerja. Termasuk rekrutmen tenaga kerja, pemberian pengupahan dan
kompensasi, serta pengembangan karier dan kondisi kerja. Bukan dikatakan
diskriminasi jika seseorang ditolak dari suatu pekerjaan atau promosi karena
mereka tidak memiliki keterampilan atau kualifikasi yang dibutuhkan bagi
pekerjaan itu.
Jadi EEO bukan merupakan:
a. Kuota. Artinya bukan pemenuhan
prosentase jumlah tertentu yang harus dicapai oleh perusahaan. Kesetaraan dalam
hal ini tidak berarti jumlah harus sama antara laki-laki dan perempuan. Meskipun
ada penetapan kuota, misalnya untuk mengikuti pelatihan, rekrutmen atau
keterwakilan dalam organisasi, namun tetap harus memperhatikan persyaratan
normatif dan administratif (melalui persaingan secara sehat) dan tidak memaksakan
target pemenuhan kuota tersebut.
b. Belas kasihan. Menempatkan
perempuan dalam pekerjaan dengan alasan belas kasihan dan mengharapkan akan memberikan
keuntungan pada pihak laki-laki.
c. Menghindari tuduhan melaksanakan
diskriminasi. EEO tidak akan menggantikan salah satu bentuk ketidakadilan di
mata hukum, karena tindakan ini memunyai dasar prestasi kerja dan merupakan
pelaksanaan fungsi personalia (sumberdaya manusia) di tempat kerja yang berlaku
bagi semua pekerja.
d. Bukan merupakan satu-satunya
hal yang dianggap baik dan dipercaya (to good to be true), seperti manfaat yang
diharapkan oleh pihak pekerja/buruh dan manajemen dengan adanya sistem manajemen
yang baik.
e. Kemurahan hati. Tindakan EEO
bukan dimaksudkan sebagai tuntutan, sumbangan, atau kemurahan hati bagi
perempuan.
EEO tidak hanya melindungi hak
pekerja/buruh saja tetapi juga bermanfaat bagi pengusaha dengan memberikan
kontribusi terhadaplingkungan kerja yang lebih harmonis. Hal ini juga
mengurangikemungkinan adanya tuntutan terhadap pengusaha.
Semua pekerja berhak mendapat
perlakuan yang sama di tempat kerja. Dengan demikian, pelru diperhatikan bahwa
kondisi dan lingkungan kerja harus mempu mendukung upaya terjadinya hak –hak pekerja
dengan memperhatikan aspek-aspek dalam hubungan kerja :
1. Pengupahan
Pekerjaan yang
bernilai sama dapat dilihat dari beberapa faktor, misalnya tanggung jawab,
tingkat kesulitan, risiko pekerjaan, dan andil terhadap perusahaan. Apabila
semua faktor tersebut mempunyai bobot yang sama, maka dapat dikatakan bahwa
pekerjaan tersebut sama nilainya. Dengan demikian, pengusaha harus memberikan
upah yang sama bagi pekerja laki-laki dan perempuan yang melakukan pekerjaan
yang bernilai sama.
Sebaliknya, jika
bobot salah satu dari keempat faktor berbeda,maka pekerjaan tersebut memunyai
nilai yang berbeda. Oleh karena itu, tidak termasuk diskriminasi jika pengusaha
memberikan upah
yang berbeda. Pada kondisi yang lain, mungkin pula keempat faktor tersebut di
atas memunyai bobot yang sama tetapi ada beberapa hal yang berbeda, misalnya
tingkat senioritas dan perbedaan lokasi. Pada keadaan ini, tidak termasuk
tindakan
diskriminasi
jika upah yang diberikan berbeda. Kebijakan Upah Minimum merupakan salah satu
perangkat pencegah diskriminasi upah bagi pekerja/buruh perempuan dan laki-laki
yang baru memulai pekerjaan dengan nilai pekerjaan terendah. Upah minimum
merupakan tingkat upah terendah yang boleh dibayarkan oleh pengusaha kepada
pekerja/buruh laki-laki dan perempuan dengan masa kerja kurang dari 1 (satu)
tahun untuk suatu wilayah atau sektor tertentu.
Perangkat lain
untuk menjamin adanya kesempatan dan perlakuan yang sama dalam bidang pengupahan
adalah struktur dan skala upah. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No. 49 Tahun 2004 tentang Ketentuan Struktur dan Skala Upah. Pengusaha
menyusun
struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja,
pendidikan, dan kompetensi pekerja. Dalam aplikasinya, kelima faktor tersebut dipertimbangkan
pada saat melakukan evaluasi pekerjaan. Selain kelima faktor di atas, pengusaha
juga memasukkan faktor faktor lain dalam evaluasi pekerjaan, seperti tanggung
jawab, tingkat kesulitan pekerjaan, risiko pekerjaan, dan andil terhadap perusahaan
dalam pertimbangan struktur dan skala upah. Untuk menjamin tidak terjadi
diskriminasi dalam penyusunan struktur dan skala upah, maka pengusaha tidak
boleh menetapkan jenis kelamin tertentu dalam persyaratan untuk menduduki suatu
jabatan. Praktek diskriminasi juga dapat terjadi pada saat evaluasi pekerjaan
untuk peningkatan grade (golongan) atau level pada struktur upah, dimana pihak
pengusaha mendiskriminasipeningkatan grade atau level bagi pekerja/buruh
perempuan atau laki-laki.
Komponen upah
dapat terdiri dari upah pokok dan tunjangan. Pada dasarnya apabila Pengusaha
akan memberikan tunjangan keluarga kepada pekerja/buruh, maka tunjangan
tersebut tidak boleh diberikan hanya kepada pekerja/buruh laki-laki. Tunjangan keluarga
seperti tunjangan suami, tunjangan istri, dan tunjangan anak dapat berupa
tunjangan tetap yang diberikan kepada semuapekerja/buruh baik laki-laki maupun
perempuan.
Pengusaha
dilarang memberikan upah pokok dan tunjangan yang berbeda kepada pekerja/buruh
laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, pengusaha dilarang memberikan tunjangan
keluarga hanya kepada pekerja/buruh laki-laki, namun perlu diperhatikan hal-hal
berikut :
a. Jika suami
dan isteri bekerja pada perusahaan yang berbeda, maka masing-masing berhak atas
tunjangan keluarga;
b. Jika suami
isteri bekerja di satu perusahaan yang sama maka kepada mereka diberikan hak
untuk memilih tunjangan keluarga tersebut diberikan kepada suami atau isteri.
Agar tidak
terjadi diskriminasi, pemberian tunjangan keluarga
perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Pada dasarnya
apabila Pengusaha akan memberikan
tunjangan
keluarga kepada pekerja/buruh, maka tunjangan tersebut tidak boleh diberikan
hanya kepada pekerja/buruh laki-laki;
b. Jika suami
dan isteri bekerja pada perusahaan yang sama, maka tunjangan suami/isteri
diberikan kepada salah satu dari pasangan suami isteri untuk memilih. dengan
perhitungan
tingkat upah
yang lebih menguntungkan;
c. Jika suami
dan isteri bekerja pada perusahaan yang sama, maka untuk menentukan tunjangan
suami/isteri dan anak diserahkan kepada yang bersangkutan untuk memilih;
d. Jika suami
dan isteri bekerja pada perusahaan yang berbeda, maka keduanya berhak
mendapatkan tunjangan keluarga. Dasar pertimbangan ketentuan ini adalah karena
suami dan isteri mendapatkan upah dari sumber yang berbeda;
e. Jika suami
dan isteri bekerja pada perusahaan yang berbeda, maka keduanya berhak
mendapatkan tunjangan keluarga. Dasar pertimbangan ketentuan ini adalah karena
setiap
pekerja/buruh
memunyai hak yang sama terhadap pemberian tunjangan.
Dalam hal upah
lembur, dasar dan tata cara penghitungan upah lembur mengacu pada ketentuan
upah lembur yang berlaku sama bagi pekerja/buruh laki-laki maupun perempuan.
Pada prakteknya kemungkinan terjadi diskriminasi pada pemberian kesempatan
kepada
pekerja/buruh laki-laki dan perempuan untuk melakukan kerja lembur. Untuk
menjamin tidak terjadi diskriminasi dalam kesempatan kerja lembur, pihak pengusaha hendaknya memberitahukan
adanya kesempatan lembur kepada seluruh pekerja/buruh tanpa membedakan jenis
kelamin. Dengan demikian, seluruh pekerja/buruh sama-sama mempunyai kesempatan
yang sama dalam mendapatkan tambahan penghasilan.
2. Kesejahteraan
Kesejahteraan
pekerja merupakan kata kunci bagi terciptanya hubungan kerja yang harmonis,
dinamis, berkeadilan, dan bermartabat. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kesejahteraan tersebut antara lain adalah tingkat upah, jaminan sosial, penyediaan
fasilitas kesejahteraan, koperasi karyawan, dan usaha produktif di perusahaan Penyelenggaraan
fasilitas kesejahteraan pekerja/buruh merupakan program yang sangat strategis.
Program ini perlu mendapat tempat prioritas dalam menumbuhkembangkan iklim yang
kondusif menuju terwujudnya pelayanan fasilitas kebutuhan pekerja dan
keluarganya. Dengan demikian, pengusaha dan pekerja/buruh dengan penuh
kesadaran melaksanakan hak dan
kewajiban untuk
mencapai kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Fasilitas
Kesejahteraan antara lain :
a. Poliklinik
(penyediaan obat-obatan yang cukup, tenaga medis yang memadai) yang dapat
diakses oleh semua pekerja/buruh;
b. Penyediaan
sarana transportasi bagi semua pekerja/buruh;
c. Tempat ibadah
yang memadai;
d. Tersedianya
koperasi yang dapat diakses oleh semua pekerja/buruh;
e. Perlakuan
yang sama bagi pekerja/buruh laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan fasilitas
mess atau perumahan;
f. Tempat
penitipan anak.
Setiap
pekerja/buruh memunyai tanggung jawab kepada diri sendiri dan keluarga.
Perwujudan dari tanggung jawab pada keluarga adalah terpenuhinya kebutuhan
hidup keluarga yang ditanggung oleh pekerja/buruh baik laki-laki dan perempuan.
Dalam ini harus dipahami bahwa kepala keluarga dapat laki-laki atau perempuan. Terkait
dengan ini adalah masalah pekerja/buruh perempuan yang hamil dan memunyai anak
di luar nikah. kepada mereka tentunya sudah sewajarnya diperlakukan sebagai
kepala keluarga karena mereka harus menanggung anaknya. Lebih jauh lagi, semua undang-undang
ketenagakerjaan yang berkaitan dengan hakhakpekerja/buruh perempuan (misal:
cuti hamil dan melahirkan) tidak memberikan batasan apakah pekerja/buruh
perempuan tersebut memiliki status kawin atau tidak kawin. Dengan demikian,
tidak boleh ada perlakuan yang berbeda pada pekerja/ buruh perempuan yang hamil
di luar nikah.Ketika syarat-syarat kerja disusun, ketentuan-ketentuan yang ada
di dalamnya tidak boleh mengarah pada timbulnya pembedaan perlakuan sebagai
akibat adanya tanggungjawab keluarga dan membedakan status pekerja/buruh tersebut
apakah sebagai kepala keluarga atau bukan.
3. Jaminan
Sosial Tenaga Kerja
Program jaminan
sosial tenaga kerja (jamsostek) bertujuan memberikan perlindungan terhadap
risiko berkurangnya atau hilangnya pendapatan sebagai akibat pekerja/buruh
mengalami kecelakaan kerja, sakit, meninggal, dan memasuki usia pensiun. Program
jaminan sosial menurut Undang-Undang No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja terdiri dari Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua
(JHT), Jaminan Kematian
(JK) dan Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Semua jenis program ini wajib diberikan kepada
seluruh pekerja tanpa memandang jenis kelamin. Pengusaha yang telah
menyelenggarakan
sendiri program pemeliharaan kesehatan (JPK) bagi pekerja/buruhnya dengan
manfaat yang lebih baik dari Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar tidak
diwajibkan ikut dalam JPK. Praktek diskriminasi dapat terjadi apabila pengusaha
hanya mendaftarkan sebagian pekerjanya dalam program jamsostek. Praktek
diskriminasi dapat juga terjadi pada program JPK yang diselenggarakan sendiri
oleh pengusaha sebagai contoh: pekerja/buruh perempuan yang berperan sebagai
kepala keluarga dianggap sebagai pekerja lajang, sehingga keluarganya tidak berhak
atas jaminan pemeliharaan kesehatan. Sementara
pekerja/buruh
laki-laki yang sudah berkeluarga, keluarganya berhak mendapatkan jaminan
pemeliharaan kesehatan. Untuk menghindari hal ini, maka pengaturan program JPK
yang sesuai dengan EEO dapat diatur dalam Peraturan Kerja, Peraturan Perusahaan,
atau Perjanjian Kerja bersama.
4. Kondisi dan
Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja
harus dapat diciptakan dengan baik dan nyaman bagi pekerja laki-laki maupun
perempuan. Kebanyakan tempat kerja dibangun dengan menggunakan pendekatan
tradisional yang sering tidak mempertimbangkan gender pekerja. Misalnya, banyak
perusahaan atau pabrik memiliki kamar kecil yang tidak mempertimbangkan
kebutuhan pekerja perempuan.
a. Norma Khusus
Perlindungan Pekerja/Buruh Perempuan Asas kesempatan dan perlakuan yang sama
dalam pekerjaan yang dimaksudkan dalam pasal 5 dan 6 Undang-undang No. 13 Tahun
2003, memberi pemahaman dan kesadaran menghargai dan melindungi hak-hak dasar
yang secaraodrati dimiliki oleh manusia/tenaga kerja dan tidak boleh dipertentangkan
dalam memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama. Pekerja/buruh perempuan
yang secara kodrati mempunyai fungsi reproduksi, hamil, melahirkan dan menyusui
anak oleh UU No. 13 tahun 2003 diberikan perlindungan khusus mencakup hak
istirahat haid, cuti hamil, melahirkan atau gugur kandungan serta kesempatan
sepatutnya untuk menyusui anak, dan kewajiban tertentu dalam mempekerjakannya
pada malam hari yang wajib dihargai dan dilindungi. Dalam pengertian lain,
keberadaan pekerja/buruh perempuan dengan fungsi reproduksi yang disandangnya
tidak boleh menimbulkan pembedaan dalam hal kesempatan dan perlakuan dalam
memasuki lapangan kerja. Dengan asas ini dimaksudkan justru pertama-tama harus
lebih menjamin perlindungan hak-hak dasar (khusus) pekerja/buruh perempuan
dimaksud, dan mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama di tempat kerja Prinsip
dasar dari EEO adalah bahwa pekerja/buruh tidak akan dibatasi dalam pekerjaan
karena tanggungjawab yang berkaitan dengan fungsi reproduksi, kebutuhan
biologis, kewajiban menjalankan ibadah, dan sebagainya. Pengusaha harus
menjamin bahwa mereka melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku
berkaitan dengan jam
kerja, waktu
istirahat, dan cuti karena menjalankan ibadah, istirahat haid, cuti melahirkan,
dan lain-lain.
b. Penataan
Tempat Kerja dan Peralatan/Sarana Produksi Penataan tempat kerja dan
peralatan/sarana produksi di tempat kerja harus memenuhi ketentuan standar keselamatan
dan kesehatan kerja, termasuk tersedianya alat alat K3, WC, tempat ganti
pakaian, penerangan, tempat istirahat, dan ruang makan. Modifikasi secara fisik
sehingga lingkungan kerja lebih nyaman akan mendatangkan banyak keuntungan,
bukan saja untuk pekerja/buruh tetapi juga untuk para pelanggan yang kebetulan
datang ke perusahaan. Tempat kerja merupakan suatu tempat kegiatan untuk melakukan
pekerjaan yang dapat menghasilkan produk barang atau jasa. Untuk dapat bekerja
di tempat kerja dengan optimal harus dibuat kondisi dan lingkungan kerja sehat
dan aman. Kondisi dan lingkungan kerja harus mempertimbangkan masalah faktor
manusia agar dapat bekerja dengan baik, nyaman dan juga sebagai upaya perlindungannya,
oleh karena itu harus dipertimbangkan oleh perusahaan antara lain:
Faktor ergonomis, misalnya bagi pekerja perempuan
hamil harus tersedia kursi yang sesuai agar dapat bekerja nyaman dan tidak
mengganggu kesehatannya.
Dalam memilih alat pelindung diri (APD) harus
memenuhi persyaratan yang berlaku, jangan membedakan kualitas peralatan
tersebut untuk digunakan oleh Penyelia dan Pekerja.
c. Pencegahan
pelecehan seksual di tempat kerja Suatu tempat kerja tidak bisa disebut aman
apabila di tempat tersebut masih saja terjadi diskriminasi terhadap perilaku
yang mengarah pada pelecehan. Termasuk dalam pelecehan ini adalah tindakan atau perilaku yang tidak
dikehendaki baik secara verbal maupun fisik, misalnya berbagai aktivitas yang berkaitan
dengan pelecehan seksual, colek-mencolek, dan lain-lain.
Pelecehan
seksual didefinisikan sebagai suatu sikap atau perilaku yang tidak dikehendaki
baik secara verbal maupun fisik yang melanggar norma-norma sosial yang
dilakukan sekali atau lebih oleh pelakunya untuk tujuan kesenangan seksual yang
tidak diinginkan dan dikehendaki oleh korbannya (tidak timbal balik) dan
dianggap sesuatu yang mengancam kesejahteraannya secara fisik, psikologis,
sosial, dan ekonomi. Bentuk kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di tempat
kerja antara lain :
42 kekerasan dan
pelecehan fisik (misal: perkosaan, baik yang masih berupa percobaan maupun yang
sudah merupakan tindakan nyata)
kekerasan dan pelecehan verbal
kekerasan dan pelecehan gerak isyarat
kekerasan dan pelecehan melalui tulisan, telepon,
gambar, dan benda-benda bersifat seksual yang tidak diinginkan.
kekerasan dan pelecehan emosional
desakan untuk melakukan tindakan seksual yang tidak diinginkan
sentuhan, sandaran, penyundutan, atau cubitan yang
tidak diinginkan.
olok-olok, gurauan, pernyataan atau pertanyaan yang bersifat
seksual dan tidak diinginkan
Untuk kekerasan
dan pelecehan seksual ini perlu dicari upaya bagaimana seandainya ada pekerja
yang mengadu (complaints)untuk urusan pelecehan ini. Kasus pelecehan seksual seringkali
dijumpai pada perusahaan yang banyak mempekerjakan tenaga kerja perempuan,
seperti perusahaan tekstil, garmen, elektronik, restoran, dan lain-lain.
Perlakuan
kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja (sesuai dengan prinsip
memperlakukan setiap pekerja dengan rasa hormat dan bermartabat), masih sulit
untuk dijabarkan dan diadukan dengan terbuka oleh korban karena banyak faktor
hambatan. Faktor hambatan tersebut meliputi kekhawatiran akan tanggapan lingkungan
sosial, kerisauan akan keamanan diri, rasa takut kehilangan pekerjaan, serta tidak
adanya wadah konsultasi antara pekerja dan manajemen. Untuk mencegah terjadinya
pelecehan, perusahaan diharapkan dapat membuat atau menetapkan tata-tertib atau
peraturan disiplin bagi pekerja/buruh yang diikuti dengan sanksi sesuai dengan
ringan-beratnya pelanggaran tersebut. Tata-tertib ini dapat dikaitkan dengan Peraturan
Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama. Perusahaan juga harus menetapkan
mekanisme dan prosedur pengaduan pelecehan pekerja. Selain itu, perusahaan
harus pula menangani penyelesaian pengaduan pelecehan dengan sungguh-sungguh
sesuai dengan peraturan dan prosedur yang sudah ditetapkan perusahaan.
5. Pengaturan
Syarat Kerja
Syarat kerja
yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja merupakan peraturan yang
berlaku di perusahaan yang dituangkan dalam bentuk Perjanjian Kerja (PK),
Peraturan
Perusahaan (PP)
atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Syarat kerja ini harus dipenuhi dan
ditaati oleh kedua belah pihak. Pada dasarnya Undang-Undang Ketenagakerjaan
melarang perlakuan diskriminisasi. Namun dalam pengaturan syarat kerja sering
terjadi perbedaan perlakuan, contoh pekerja perempuan dianggap pekerja lajang,
usia pensiun pekerja/buruh perempuan lebih rendah dari laki-laki, kesempatan
mengikuti pendidikan dan pelatihan ke luar negeri lebih diutamakan kepada
pekerja/buruh laki-laki, kesempatan promosi lebih diutamakan kepada pekerja/buruh
laki-laki, penyediaan fasilitas berbeda antara pekerja/buruh laki-laki dan
perempuan, pengaturan penerimaan pekerja/buruh. Oleh sebab itu untuk mencegah
perlakuan diskriminasi,pengusaha menghindari pengaturan yang dapat ditafsirkan diskriminasi.
Demi terlaksananya kesetaraan kesempatan di tempat kerja, setiap pembuatan
pengaturan syarat kerja di perusahaan sebaiknya menghindari adanya pasal atau
materi, baik dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, maupun Perjanjian
Kerja Bersama, yang dapat ditafsirkan sebagai diskriminasi antara pekerja/buruh
laki-laki dan perempuan.
Sumber : Panduan Kesempatan dan Perlakuan yang sama dalam pekerjaan di Indonesia
Sumber : Panduan Kesempatan dan Perlakuan yang sama dalam pekerjaan di Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Search
Berita UG SS
Popular Posts
-
Pengertian Embedded System Embedded System atau sistem tertanam merupakan sistem komputer khusus yang dirancang untuk menjalankan tugas...
-
PROPOSAL BISNIS CUPCAKE (Diajukan sebagai tugas mata kuliah manajemen proyek dan manajemen resiko ) ...
0 komentar:
Posting Komentar